Usaha menumbuhkan dan meningkatkan minat baca bagi
Tutor, dan terutama warga belajar sebagai bagian dari proses
pembelajaran untuk memutus belenggu kebodohan dan keterbelakangan,
pemerintah telah menetapkan adanya Bulan Buku Nasional (BBN) setiap
bulan Mei, Akan tetapi, keberadaan bulan penuh makna itu masih belum
tersosialisasikan dengan baik, tidak menutup kemungkinan banyak para
pekerja pendidikan nonformal (pamong belajar, tutor, penilik, TLD, FDI)
tidak mengetahui adanya BBN, sehingga bulan yang dicanangkan untuk
mengembangkan wawasan melalui kebiasaan membaca belum dikomunikasikan
dengan baik oleh para penggerak pendidikan nonformal kepada masyarakat
sebagai sasaran program.
Sebagai komponen terdepan yang bertugas melaksanakan
program Direktorat PNF, Tutor mempunyai peran dan posisi yang amat
strategis dalam upaya mengenalkan bulan penuh makna itu kepada warga
belajar yang terkait dengan perannya mempercepat penuntasan buta
aksara dan upaya pemerataan pendidikan bagi masyarakat marjinal yang
masih terkungkung oleh masalah kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan. Namun nyatanya, diakui atau tidak, nasib Tutor
dilapangan masih sering dipandang sebelah mata oleh instansi lintas
sektoral, hal ini diperparah oleh kekurang tahuan masyarakat terhadap
pengabdian dan tupoksi Tutor sebagai pelaku program pendidikan
nonformal di lapangan. Padahal diakui atau tidak, mereka telah turut
serta mensukseskan program pemerintah melalui bidang pendidikan
nonformal. Pengabdian Tutor pun masih dihargai ala kadarnya,
benar-benar tanpa tanda jasa.
Dengan kondisi yang demikian,
sulit mengharapkan peran mereka dalam mendorong tumbuhnya minat baca
warga belajar dan memasyarakatkan bulan penuh makna diatas. Mengapa
bisa begitu ?
Disamping keberadaaan BBN yang kurang terdengar
gaungnya, kebiasaan membaca (reading habid) ternyata juga belum banyak
dimiliki oleh para Tutor. Diakui atau tidak, bukti rendahnya minat baca
mereka itu ditandai oleh tidak tersedianya “ruang baca” yang
representatif di PKBM dan sekretariat forum PTK-PNF. Kalaupun ada,
buku-buku koleksi yang kebanyakan di dapat dari pemberian atau kiriman
(dropping) hanya ditumpuk di lemari, bahkan digudang dengan kondisi
masih disegel dalam kardus dan dibiarkan rusak kehujanan atau di
krikiti tikus. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan perpustakaan masih
kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya untuk meningkatkan
wawasan dan pengetahuan para Tutor.
Upaya memaksimalkan
kontribusi Tutor untuk menumbuhkan minat baca warga belajar tentulah
tidak lepas dari upaya Direktorat Pendidikan Masyarakat memberdayakan
Tutor terlebih dulu melalui berbagai pendidikan dan latihan. Apalagi,
sesuai komitmen Indonesia dalam konferensi Educational For All tahun
1995, perlu diupayakan langkah-langkah strategis pemecahannya guna
meningkatkan minat baca masyarakat.
Barangkali cukup
proporsional jika pemerintah mengalokasikan pendanaan dan memberi
kemudahan Tutor untuk mendirikan Taman Bacaan Masyarakat sebagai upaya
menjaga ke-melek huruf-an mantan peserta program kesetaraan dan
keaksaraan. Mereka pun hendaknya dipermudah untuk mengajukan dana
program pelestarian dan penguatan kelompok binaanya sebagai
penyemangat. Sehingga Tutor termotivasi untuk aktif menggali potensi
yang ada di masyarakat sebagai masukan penyusunan program tahunan,
termasuk didalamnya adalah keberadaan Taman Bacaan Masyarakat yang
menyediakan buku-buku sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dimana
program berada, dengan demikian keberadaannya bisa menjadi tempat
berkumpulnya warga masyarakat untuk saling tukar pengalaman. Hal ini,
secara tidak langsung melalui aktivitasnya mengelola TBM, Tutor juga
bisa mendorong terciptanya kebiasaan membaca. Untuk itulah, diharapkan,
Direktorat Pendidikan Masyarakat bisa segera get things done,
melaksanakan percepatan program pemberantasan buta aksara melalui TBM
yang dikelola dengan baikoleh Tutor.